WikiLeaks: ISU Larangan Pelatihan Militer Elit Kopassus

https://media.vivanews.com/thumbs2/2010/09/28/96815_latgab-kopassus-dan-australia-terkait-teroris-di-bali_300_225.JPGBocoran WikiLeaks yang di rilis laman harian Australia, The Age, mengungkapkan Kedutaan Besar Amerika Serikat (AS) menyarankan Washington memenuhi permintaan Indonesia untuk mencabut larangan  pelatihan bagi satuan militer elit Kopassus. Namun, AS juga mempersoalkan masalah pelanggaran HAM dan hambatan lain yang terkait dengan militer Indonesia.

Memo dari Kedutaaan Besar AS di Jakarta menyangkut isu Kopassus itu dirilis The Age pada Jumat 17 Desember 2010. Bocoran WikiLeaks itu juga dimuat oleh harian Sydney Morning Herald, yang satu grup dengan Age di kelompok Fairfax Media.

Pada memo Oktober 2007, Kedubes AS melaporkan kepada Washington bahwa Indonesia belum mengusut secara hukum pelanggaran hak asasi manusia [HAM] di masa lalu secara konsisten. Amerika perlu mengingatkan Indonesia mengenai konsekuensi yang muncul bila tidak bertindak atas akuntabilitas TNI. Indonesia, tampaknya tidak akan mengubah pendekatannya.

“Maka, Amerika perlu mendorong pemerintah Indonesia untuk mengambil langkah-langkah alternatif untuk menunjukkan akuntabilitas,” demikian kutipan memo yang diperoleh The Age dari WikiLeaks.

Memo lain dari Kedubes melaporkan bahwa sejumlah perwira tinggi Indonesia saat itu tetap mendapat promosi jabatan kendati mereka diduga terlibat dalam pelanggaran-pelanggaran di masa lalu.

“Dalam dua kasus, para perwira yang terkait dengan pelanggaran HAM telah dipromosikan ke posisi-posisi kunci,” tulis suatu memo diplomatik AS.

“Kontak-kontak di Departemen Pertahanan Indonesia memberitahu kami promosi atas dua perwira itu ditunda dari jadwal biasa karena kegiatan mereka di masa lampau. Satu kasus lainnya mungkin akibat menjalin hubungan yang lebih dekat dengan China,” demikian penggalan memo yang dikabarkan The Age.

Pada Mei 2008, Ketua Gabungan Kepala Staf Militer AS, Laksamana Mike Mullen, mendapat penjelasan dari diplomat AS bahwa hambatan kunci bagi perluasan kerjasama adalah masih sekitar kegagalan pemerintah Indonesia untuk mendesak akuntabilitas bagi pelanggaran HAM oleh pihak keamanan.

“Isu akuntabilitas itu menghentikan keterlibatan terencana [Amerika] dengan Pasukan Khusus Angkatan Darat [Kopassus] dan bisa terasa dalam kegiatan militer-militer lainnya,” lanjut memo itu.

AS, menurut kutipan memo tersebut, pada dasarnya menyambut baik reformasi militer Indonesia. Namun reformasi itu bukan berarti sama dengan memenjarakan para jenderal di balik jeruji atas pelanggaran HAM.

Di akhir 2009, atau enam bulan sebelum AS mencabut larangan pelatihan dengan Kopassus, Asisten Menteri Pertahanan, Bill Burns, berkata kepada kalangan pejabat senior Indonesia bahwa pelibatan dengan Kopassus terus menjadi isu yang sulit dan kompleks, terutama di Washington, termasuk di Kongres, terkait dengan akuntabilitas atas aksi-aksi Kopassus di masa lalu.

Kedubes AS, dalam memo itu, berupaya untuk mempermudah proses bagi perwira militer Indonesia yang akan menjalani pelatihan di AS.

Pihak kedubes pun dikabarkan menolak laporan kelompok Human Rights Watch pada 2009 bahwa sejumlah tentara Kopassus telah melakukan pelanggaran HAM di Papua. Bagi Kedubes, laporan itu tidak berimbang dan belum dipastikan kebenarannya.

Pelanggaran HAM seperti yang dilaporkan itu dianggap belum masuk dalam kategori pelanggaran HAM berat. “Dalam insiden-insiden itu, personel Kopassus diduga memukul dan menendang sembilan warga Papua di dalam barak Kopassus. Sejumlah kasus melibatkan orang-orang Papua yang sedang mabuk atau terlibat dalam perilaku yang mengganggu di dekat barak Kopassus,” tulis laporan itu.

Jawaban Kementerian Pertahanan

Juru Bicara Kementerian Pertahanan, Brigadir Jenderal I Wayan Midhio, ketika dimintai konfirmasi menyatakan bahwa sejumlah memo yang mengomentari Indonesia itu wajar-wajar saja dikeluarkan. “Silakan saja mereka berkomentar, itu hak mereka,” kata Midhio saat dihubungi VIVAnews, Jumat 17 Desember 2010.

Soal Indonesia belum mengusut secara hukum pelanggaran hak asasi manusia [HAM] di masa lalu secara konsisten, Midhio menegaskan hal tersebut tidak benar. “Semua pelaku dugaan pelanggaran hak asasi manusia sudah ditangani sesuai prosedur hukum yang berlaku,” katanya. “Indonesia konsisten melakukan penegakan hak asasi manusia.”

Sedangkan mengenai sejumlah perwira yang mendapatkan promosi, Midhio mengatakan, “Nama-nama sejumlah jenderal yang disebut Amerika terkait pelanggaran HAM sudah ditangani sesuai aturan.”

Dia menambahkan, “Jadi yang tidak terlibat, ya tidak dikenakan sanksi.  Dan pelanggaran pun bukan melanggar HAM, tapi abuse of power dan itu sudah ditangani sesuai hukum.”

Penegakan HAM ini, kata Midhio, bahkan sudah meningkat sampai ke pencegahan. “Kurikulum HAM itu sekarang sudah masuk ke akademi atau sekolah-sekolah militer.”

Sementara soal SBY meminta Amerika menghentikan pelarangan pelatihan Kopassus di Amerika, menurut Midhio, terlalu dibesar-besarkan. Presiden SBY, kata Midhio, tak mungkin mengorbankan politik luar negeri hanya karena masalah Kopassus. “Setahu saya, bukan begitu. Presiden SBY tetap ingin menggalang kerjasama yang bebas dengan negara lain. Masalah Kopassus itu hanya masalah kecil,” katanya.

Dan terbukti, kata Midhio, Indonesia dan Amerika Serikat menggalang kemitraan strategis komprehensif yang menyangkut banyak bidang, bukan hanya militer. “Kalau mereka (Amerika Serikat), membesar-besarkan masalah Kopassus, itu urusan mereka,” kata Midhio.

Sumber Berita

Recommended For You

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *