Teknologi Konservasi Lahan Pertanian

Revolusi Hijau sebagai tonggak dalam modernisasi pertanian telah memberikan sumbangan yang berarti bagi ketersediaan pangan yang cukup, untuk memenuhi kebutuhan manusia yang semakin meningkat jumlahnya. Di dalam modernisasi pertanian telah diperkenalkan berbagai teknologi dan metode baru budidaya tanaman sehingga mampu meningkatkan produktivitas dan kualitas hasil panen. Teknik dan metode yang digunakan saat ini antara lain, pengolahan lahan yang baik, pengairan yang cukup, penggunaan benih unggul, pemberian pupuk berimbang, pengendalian hama dan penyakit tanaman secara efektif, serta penanganan pasca panen yang tepat. Teknik dan metode tersebut telah digunakan secara luas di berbagai negara di dunia, termasuk di Indonesia.

Salah satu keunggulan dari teknologi pertanian modern adalah kemampuannya untuk meningkatkan produksi pertanian dari lahan yang relatif tetap, sehingga dapat dihindari pembukaan lahan-lahan baru yang dapat mengganggu keseimbangan dan kerusakan ekologi. Dari suatu satuan lahan dapat diusahakan peningkatan hasil melalui peningkatan jumlah pertanaman maupun peningkatan hasil panen melalui penggunaan masukan-masukan produksi yang efisien. Program intensifikasi pertanian telah memperlihatkan hasil yang nyata selama beberapa dekade terakhir, di mana produksi pertanian dapat ditingkatkan sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk.

Walaupun pertanian modern telah memberikan sumbangan yang berarti, namun masih belum menjawab secara tuntas berbagai masalah yang dihadapi oleh para petani, misalnya masalah fluktuasi harga komoditi pertanian yang ekstrim serta kesinambungan produksi pertanian itu sendiri. Masalah harga komoditi pertanian ini sering menempatkan petani sebagai pihak yang lemah di dalam sistem pemasaran hasil-hasil pertaniannya. Oleh sebab itu diperlukan solusi baru yang dapat membantu menekan biaya produksinya serta meningkatkan produktivitas tanamannya. Masalah lainnya adalah bahwa usaha pertanian secara intensif maupun ekstensif dengan menggunakan teknologi konvensional dinilai telah sampai pada titik jenuhnya, bahkan akhir-akhir ini produktivitas pertanian dinilai mulai mengalami penurunan. Penyebabnya antara lain adalah degradasi lahan sebagai salah satu akibat dari praktek pertanian konvensional itu sendiri, khususnya dalam cara-cara pengolahan tanah.

Pengolahan tanah modern dinilai sebagai salah satu penyebab dari krisis pertanian, padahal petani harus meningkatkan produksi sebesar 40% untuk memberi makan penduduk dunia pada tahun 2020. Melalui intensifikasi pertanian, lahan diolah secara sempurna. Pengolahan lahan secara sempurna menyebabkan bongkahan-bongkahan tanah tercuci dan tererosi oleh air hujan maupun air irigasi. Bahan-bahan organik dan mineral tanah pada lapisan olah yang tererosi tersebut kemudian hanyut terbawa air ke sungai dan selanjutnya ke laut. Proses yang berulang secara terus menerus tersebut akhirnya menurunkan kandungan bahan organik dan mineral tanah yang berakibat pada penurunan kesuburan lahan pertanian. Diperkirakan puluhan kilogram mineral tanah tererosi setiap tahunnya. Di samping itu, erosi juga mengakibatkan pendangkalan sungai, menyebabkan sungai-sungai menjadi keruh dan kehidupan biota air terganggu. Singkatnya, pengolahan tanah sempurna cara konvensional dalam jangka panjang akan menurunkan produktivitas lahan pertanian dan kerusakan lingkungan, sehingga dikuatirkan bahwa penggunaan teknik dan metoda konvensional saat ini tidak dapat memenuhi kebutuhan pangan manusia di masa mendatang, serta menurunkan daya dukung lahan pertanian.

Oleh karena adanya permasalahan di atas, maka perlu diupayakan suatu teknik dan metode baru bagi petani untuk menanggulagi masalah-masalah tersebut. Teknik dan metoda baru tersebut setidak-tidaknya harus memenuhi empat kriteria utama yaitu: pertama, bahwa teknologi tersebut adalah mudah dan praktis dalam aplikasinya di lapangan; kedua, dapat menekan biaya produksi pertanian; ketiga, dapat meningkatkan produktivitas tanaman; dan yang keempat, mencegah degradasi lahan dan lingkungan dalam jangka panjang. Dengan demikian maka diharapkan petani dapat menikmati keuntungan di dalam usahataninya serta produktivitas pertanian yang aman, dan secara ekologis dapat dipertahankan dalam jangka panjang.

Salah satu teknik dan metoda yang diyakini sebagai jalan keluar bagi permasalahan petani di atas adalah yang dikenal sebagai pengolahan lahan konservasi, sebagai salah satu bagian dari sistem pertanian konservasi yang sedang diperkenalkan oleh berbagai negara di dunia. Olah tanah konservasi diyakini sebagai jalan keluar bagi permasalahan produktivitas pertanian. Pertanian konservasi telah dipraktekkan pada sekitar 45 juta ha lahan pertanian di dunia, utamanya di Amerika Utara dan Selatan. Di beberapa negara bagian di Brazil, pertanian konservasi sudah merupakan kebijakan pemerintah. Bahkan di Amerika Tengah dan Costa Rica telah terbentuk Kementrian Konservasi Pertanian yang memang secara khusus memasukkan program konservasi di dalam program pembangunan pertaniannya. Salah satu cara di dalam pengolahan lahan konservasi itu adalah dengan menerapkan Teknologi Penyiapan Lahan (TPL) untuk pertanian berkelanjutan. Teknologi Penyiapan Lahan adalah suatu teknik penyiapan lahan dengan menggunakan herbisida sebelum penanaman. Herbisida digunakan sebagai alat untuk menyiapkan lahan pertanian secara cepat melalui olah tanam minimum atau tanpa olah tanah. Herbisida yang digunakan antara lain herbisida Kontak yang berbahan aktif parakuat (misalnya Gramoxone yang banyak dikenal petani), maupun herbisida sistemik berbahan aktif glifosat potasium (seperti Touchdown Hitech dan Toupan IQ). Untuk lahan basah seperti persawahan beririgasi teknis serta lahan pasang surut yang selalu tergenang air, herbisida Kontak merupakan herbisida yang paling tepat karena dapat mengendalikan gulma dengan efektif dalam kondisi lahan seperti itu.

Teknologi Penyiapan Lahan dengan menggunakan herbisida telah diperkenalkan secara luas di dunia. Di Paraguai, TPL telah diterapkan di lebih dari 52% lahan pertaniannya. Di Argentina, 32% lahan pertanian telah menggunakan teknologi tersebut. Di Amerika dan Brazil, teknologi ini telah diadopsi dan diterapkan secara konsisten, dan yang sekarang telah meliputi 16% dan 21% dari total areal pertanian di kedua negara tersebut. Di Afrika, teknologi tersebut juga telah diterapkan di sejumlah wilayah pertanian.

Di Indonesia sendiri, TPL masih tergolong baru diperkenalkan. Petani-petani padi pasang surut telah menikmati manfaat teknologi ini sejak dua puluh tahun yang lalu, karena dapat menekan biaya mempercepat waktu penyiapan lahan dan dapat meningkatkan luas maupun indeks pertanaman dalan satu tahun. Di lahan-lahan sawah beririgasi, teknologi ini juga menawarkan manfaat yang sama. Aplikasi teknologi ini di lapangan sederhana sekali. Lahan yang akan ditanami padi misalnya biasanya ditumbuhi gulma dan atau singgang padi bekas panen sebelumnya. Dengan TPL, petani melakukan penyemprotan gulma dengan herbisida Kontak. Satu atau dua hari kemudian, setelah gulma atau singgang menguning, lahan tersebut digenangi selama empat sampai lima hari. Tujuan penggenangan tersebut adalah untuk mempercepat dekomposisi gulma atau singgang padi tersebut.

Gulma yang terdekomposisi tersebut merupakan sumber bahan organic dan mineral yang baik untuk meningkatkan kesuburan tanah serta mencegah erosi. Setelah penggenangan, gulma yang mati tersebut direbahkan atau diratakan. Tujuannya adalah untuk menjadikan lahan tersebut siap tanam. Segera setelah perebahan atau perataan tanah, lahan tersebut sudah dapat ditanami padi. Proses penyiapan lahan dengan TPL hanya membutuhkan waktu sekitar7-8 hari saja, sedangkan dengan teknik pengolahan tanah konvensional dibutuhkan waktu sekitar 30-60 hari sebelum padi siap ditanam. Proses penyiapan lahan yang cepat ini dapat mengoptimalkan penggunaan air, meningkatkan indeks pertanaman dari satu menjadi dua atau dari dua menjadi tiga tanaman setiap tahunnya.

TPL memberikan manfaat yang besar bagi petani, masyarakat dan lingkungan di tingkat lokal maupul global. Manfaatnya bagi petani antara lain bahwa TPL mengurangi biaya dan meningkatkan hasil panen. Penelitian yang telah banyak diadakan di Indonesia, menekan biaya penyiapan lahan sebesar 20-35% serta meningkatkan hasil panen sebesar 10-15% per hektarnya. Dari efisiensi biaya dan peningkatan produktivitas, menurut perhitungan, terjadi peningkatan pendapatan dan keuntungan petani secara nyata. Bagi masyarakat dan lingkungan, TPL dapat memberikan efisiensi dalam penggunaan air, mencegah erosi yang sehingga dapat mempertahankan dan meningkatkan kandungan bahan organik tanah, serta mengurangi masalah banjir sebagai akibat dari pendangkalan sungai karena erosi tersebut. TPL juga bermanfaat untuk meminimalkan ketersediaan air, karena penyiapan lahan dapat dilakukan dengan cepat maka air yang tersedia dapat dimanfaatkan dengan efisien. Dalam jangka panjang, TPL akan berperan untuk menstabilkan produksi pertanian serta memperkuat ketahanan pangan.

Secara global TPL juga memberikan banyak manfaat. Pengikatan karbon di dalam bahan-bahan organik yang berasal dari sisa-sisa gulma atau vegetasi yang terdekomposisi merupakan potensi global konservasi pertanian. Jadi dapat disimpulkan bahwa TPL merupakan suatu teknologi tepat guna yang ideal saat ini karena memenuhi keempat kriteria yaitu, secara nyata dapat menekan biaya produksi, meningkatkan produktivitas tanaman, mudah dan praktis dalam aplikasinya di lapangan serta mencegah degradasi lahan dalam jangka panjang. Dengan demikian penggunaan teknologi ini sangat disarankan dalam upaya mewujudkan pertanian yang berkesinambungan.

Recommended For You

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *