PENGARUH KESEHATAN DAN GIZI TERHADAP TINGKAT KEMISKINAN

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Hasil sementara Sensus Penduduk tahun 2000 memperkirakan jumlah penduduk 203.456.005, dengan laju pertumbuhan penduduk 1990-2000 adalah 1,35 (BPS, 2001). Dari total penduduk tersebut, diperkirakan proporsi balita adalah 8.88%, usia reproduktif 15-49 tahun: 55,28% (perempuan), dan 54,86% (laki-laki). (lihat table 1). Uraian berikut ini dikaitkan dengan analisis situasi, issue serta kebijakan tentang kesehatan dan gizi. Informasi dari Sensus Penduduk ini menjadi penting dalam upaya pemerintah, khususnya kesehatan dan gizi, dalam mentargetkan kelompok rawan pada penduduk yang memerlukan intervensi.
Memasuki milenium baru, Indonesia dihadapi dengan perubahan ekonomi dan politik yang tidak menentu. Walaupun tidak merata, secara umum Bank Dunia melaporkan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang positif sebelum tahun 1997 (lihat figure 1: GNP per capita 1986-2000). Pertumbuhan ekonomi ini berdampak pada penurunan angka kemiskinan dari 40% tahun 1976 menjadi 11% tahun 1996 (Figure 2); penurunan kematian bayi; penurunan kematian anak 0-4 tahun; dan 25% penurunan kematian ibu. Secara statistik hal ini ditunjang pula dengan pencapaian keamanan pangan, dan pencapaian pelayanan kesehatan terutama pada ibu dan anak.

Krisis ekonomi memperlambat proses penurunan yang telah terjadi selama tiga dekade terkakhir. Krisis ekonomi menurunkan nilai rupiah yang berakibat pada merosotnya pendapatan perkapita (lihat figure 1) dan jumlah penduduk miskin meningkat dari 11% tahun 1996 atau 34.5 juta orang menjadi 16.64% tahun 1999 atau 47,9 juta orang (lihat figure 2). Dampak krisis ekonomi ternadap kesehatan masyarakat dapat dilihat secara tidak langsung. Disadari secara luas bahwa dampak krisis ekonomi berdampak negatif pada status kesehatan masyarakat, akan tetapi bukti nyata secara statistik masih perlu dikaji agar tidak terjadi kontradiksi. Kenyataannya kajian perubahan morbiditas dan mortalitas pada penduduk masih dilakukan terus menerus. Diperlukan informasi data kesehatan dengan kualitas yang baik dari sistem pelayanan kesehatan dan juga survei lainnya.
Berikut ini adalah kajian kecenderungan beberapa indikator kesehatan dan gizi tahun 1990-2000, serta issue dan kebijakan untuk program kesehatan dan gizi pada masa mendatang.

B.    Tujuan
Untuk mengetahui pengaruh kesehatan dan gizi terhadap tingkat kemiskinan di Indonesia.


BAB II
PEMBAHASAN

A.  MEMAHAMI KEMISKINAN
1. Berbagai Pengertian
Masalah kemiskinan memang telah lama ada sejak dahulu kala. Pada masa lalu umumnya masyarakat menjadi miskin bukan karena kurang pangan, tetapi miskin dalani bentuk minimnya kemudahan atau materi. Dari ukuran kehidupan modern pada masakini mereka tidak menikmati fasilitas pendidikan, pelayanan kesehatan, dan kemudahan-kemudahan lainnya yang tersedia pada jaman modern.

Kemiskinan sebagai suatu penyakit sosial ekonomi tidak hanya dialami oleh negara-negara yang sedang berkembang, tetapi juga negara-negara maju, seperti Inggris dan Amerika Serikat. Negara Inggris mengalami kemiskinan di penghujung tahun 1700-an pada era kebangkitan revolusi industri yang muncul di Eropah. Pada masa itu kaum miskin di Inggris berasal dari tenaga-tenaga kerja pabrik yang sebefumnya sebagai petani yang mendapatkan upah rendah, sehingga kemampuan daya belinya juga rendah. Mereka umumnya tinggal di permukiman kumuh yang rawan terhadap penyakit sosial lainnya, seperti prostitusi, kriminalitas, pengangguran.
Amerika Serikat sebagai negara maju juga dihadapi masalah kemiskinan, terutama pada masa depresi dan resesi ekonomi tahun 1930-an. Pada tahun 1960-an Amerika Serikat tercatat sebagai negara adi daya dan terkaya di dunia. Sebagian besar penduduknya hidup dalam kecukupan. Bahkan Amerika Serikat telah banyak memberi bantuan kepada negara-negara lain. Namun, di balik keadaan itu tercatat sebanyak 32 juta orang atau seperenam dari jumlah penduduknya tergolong miskin.
Indonesia sebagai negara yang kaya akan sumber daya alamnya mempunyai 49,5 juta jiwa penduduk yang tergolong miskin (Survai Sosial Ekonomi Nasional / Susenas 1998). Jumlah penduduk miskin tersebut terdiri dari 17,6 juta jiwa di perkotaan dan 31,9 juta jiwa di perdesaan. Angka tersebut lebih dari dua kali lipat banyaknya dibanding angka tahun 1996 (sebelum krisis ekonomi) yang hanya mencatat jumlah penduduk miskin sebanyak 7,2 juta jiwa di Perkotaan dan 15,3 juta jiwa perdesaan. Akibat krisis jumlah penduduk miskin diperkirakan makin bertambah.

Ada dua kondisi yang menyebabkan kemiskinan bisa terjadi, yakni kemiskinan alamiah dan karena buatan. Kemiskinan alamiah terjadi antara lain akibat sumber daya alam yang terbatas, penggunaan teknologi yang rendah dan bencana alam. Kemiskinan “buatan” terjadi karena lembaga-lembaga yang ada di masyarakat membuat sebagian anggota masyarakat tidak mampu menguasai sarana ekonomi dan berbagai fasilitas lain yang tersedia, hingga mereka tetap miskin.
Berbagai persoalan kemiskinan penduduk memang menarik untuk disimak dari berbagai aspek, sosial, ekonomi, psikologi dan politik. Aspek sosial terutarria akibat terbatasnya interaksi sosial dan penguasaan informasi. Aspek ekonomi akan tampak pada terbatasnya pemilikan alat produksi, upah kecil, daya tawar rendah, tabungan nihil, lemah mengantisipasi peluang. Dari aspek psikologi terutama akibat rasa rendah diri, fatalisme, malas, dan rasa terisolir. Sedangkan, dari aspek politik berkaitan dengan kecilnya akses terhadap berbagai fa,silitas dan kesempatan, diskriminatif, posisi lemah dalam proses pengambil keputusan.

Kemiskinan dapat dibedakan menjadi tiga pengertian: kemiskinan absolut, kemiskinan relatif dan kemiskinan kultural. Seseorang termasuk golongan miskin absolut apabila hasil pendapatannya berada di bawah garis kemiskinan, tidak cukup untak memenuhi kebutuhan hidup minimum: pangan, sandang, kesehatan, papan, pendidikan. Seseorang yang tergolong miskin relatif sebenarnya telah hidup di atas garis kemiskinan namun masih berada di bawah kemampuan masyarakat sekitarnya. Sedang miskin kultural berkaitan erat dengan sikap seseorang atau sekelompok masyarakat yang tidak mau berusaha memperbaiki tingkat kehidupannya sekalipun ada usaha dari fihak lain yang membantunya.
Garis kemiskinan merupakan ukuran rata-rata kemampuan masyarakat untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup minimum. Melalui pendekatan sosial masih sulit mengukur garis kemiskinan masyarakat, tetapi dari indikator ekonomi secara teoritis dapat dihitung dengan menggunakan tiga pendekatan, yaitu pendekatan produksi, pendapatan, dan pengeluaran. Sementara ini yang dilakukan Biro Pusat Statistik (BPS) untuk menarik garis kemiskinan adalah pendekatan pengeluaran.

Menurut data BPS hasil Susenas pada akhir tahun 1998, garis kemiskinan penduduk perkotaan ditetapkan sebesar Rp. 96.959 per kapita per bulan dan pendudukjniskin perdesaan sebesar Rp. 72.780 per kapita per bulan. Dengan perhitungah uang tersebut dapat dibelanjakan untuk memenuhi konsumsi setara dengan 2.100 kalori per kapita per hari, ditambah dengan pemenuhan kebutuhan pokok minimum lainnya, seperti sandang, kesehatan, pendidikan, transportasi. Angka garis kemiskinan ini jauh sangat tinggi bila dibanding dengan angka tahun 1996 sebelum krisis ekonomi yang hanya sekitar Rp. 38.246 per kapita per bulan untuk penduduk perkotaan dan Rp. 27.413 bagi penduduk perdesaan.
Banyak pendapat di kalangan pakar ekonomi mengenai defmisi dan klasifikasi kemiskinan ini. Dalam bukunya The Affluent Society, John Kenneth Galbraith melihat kemiskinan di Amerika Serikat terdiri dari tiga macam, yakni kemiskinan umum, kemiskinan kepulauan, dan kemiskinan kasus. Pakar ekonomi lainnya melihat secara global, yakni kemiskinan massal/kolektif, kemiskinan musiman (cyclical), dan kemiskinan individu.
Kemiskinan kolektif dapat terjadi pada suatu daerah atau negara yang mengalami kekurangan pangan. Kebodohan dan eksploitasi manusia dinilai sebagai penyebab keadaan itu. Kemiskinan musiman atau periodik dapat terjadi manakala daya beli masyarakat menurun atau rendah. Misalnya sebagaimana, sekarang terjadi di Indonesia. Sedangkan, kemiskinan individu dapat terjadi pada setiap orang, terutama kaum cacat fisik atau mental, anak-anak yatim, kelompok lanjut usia.


2. Penanggulangan Kemiskinan
Bagaimana menangani kemiskinan memang menarik untuk disimak. Teori ekonomi mengatakan bahwa untnk memutus mata rantai lingkaran kemiskinan dapat dilakukan peningkatan keterampilan sumber daya manusianya, penambahan modal investasi, dan mengembangkan teknologi. Melalui berbagai suntikan maka diharapkan produktifitas akan meningkat. Namun, dalam praktek persoalannya tidak semudah itu. Lantas apa yang dapat dilakukan?
Program-program kemiskinan sudah banyak dilaksanakan di berbagai negara. Sebagai perbandingan, di Amerika Serikat program penanggulangan kemiskinan diarahkan untuk meningkatkan kerja sama ekonomi antar negara bagian, memperbaiki kondisi permukiman perkotaan dan perdesaan, perluasan kesempatan pendidikan dan kerja untuk para pemuda, penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan bagi orang dewasa, dan pemberian bantuan kepada kaum miskin usia lanjut. Selain program pemerintah, juga kalangan masyarakat ikut terlibat membantu kaum miskin melalui organisasi kemasyarakatan, gereja, dan lain sebagainya.

Di Indonesia program-program penanggulangan kemiskinan sudah banyak pula dilaksanakan, seperti: pengembangan desa tertinggal, perbaikan karnpung, gerakan terpadu pengentasan kemiskinan. Sekarang pemerintah menangani program tersebut secara menyeluruh, terutama sejak krisis moneter dan ekonomi yang melanda Indonesia pada pertengahan tahun 1997, melalui program-program Jaring Pengaman Sosial (JPS). Dalam JPS ini masyarakat sasaran ikut terlibat dalam berbagai kegiatan.
Sedangkan, P2KP sendiri sebagai program penanggulangan kemiskinan di perkotaan lebih mengutamakan pada peningkatan pendapatan masyarakat dengan mendudukan masyarakat sebagai .pelaku utamanya melalui partisipasi aktif. Melalui partisipasi aktif mi dari masyarakat miskin sebagai kelompok sasaran tidak hanya berkedudukan menjadi obyek program, tetapi ikut serta menentukan program yang paling cocok bagi mereka. Mereka memutuskan, menjalankan, dan mengevaluasi hasil dari pelaksanaan program. Nasib dan program, apakah akan terus berlanjut atau berhenti, akan tergantung pada tekad dan komitmen masyarakat sendiri.
JAKARTA, 7 Agustus 2006 – Anggaran penanggulangan kemiskinan pada kement;erian dan lembaga (KL) di dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) pada 2007 sebesar Rp25,41 triliun atau 11,05% dari total pagu indikatif KL (Rp230,3 triliun).

Deputi Bidang Pendanaan Kemenneg PPN/ Bappenas Lukita Dinarsyah Tuwo mengemukakan dana tersebut merupakan rancangan awal pada RKP 2007. Selanjutnya, anggaran itu dibahas Panitia Kerja (Panja) Panitia Anggaran DPR sekaligus mengakomodasi usulan KL jika ada rencana mengubah pagu indikatif tersebut.
“Penanggulangan kemiskinan menjadi prioritas pertama dari sembilan prioritas program Kerja pemerintah pada,2007,” Deputi Bidang Pendanaan Kemenneg PPN/ Bappenas Lukita Dinarsyah Tuwo mengemukakan dana tersebut merupakan rancangan awal pada RKP 2007. Selanjutnya, anggaran itu dibahas Panitia Kerja (Panja) Panitia Anggaran DPR sekaligus mengakomodasi usulan KL jika ada rencana mengubah pagu indikatif tersebut.
Target program penanggulangan kemiskinan pada 2007 adalah mengurangi penduduk miskin sampai 14,4% dari saat ini yang mencapai di atas 15%. Berdasarkan Data yang diperoleh dari Bappenas menyebutkan dana akan disalurkan kepada masyarakat melalui beberapa KL.

Untuk peningkatan akses dan kualitas pendidikan dikelola Departemen Pendidikan Nasional dan Departemen Agama senilai Rp 12,84 triliun. Pelayanan kesehatan keluarga miskin di Puskemas, Rumah Sakit kelas III, daerah terpencil dan terisolasi, serta pelatihan teknis bidan dan tenaga medis melalui Departemen Kesehatan senilai Rp5,751 triliun.
Rehabilitasi rumah nelayan, rakyat perbatasan, dan pulau kecil sebanyak 2.600 unit senilai Rp 108,4 miliar dikerjakan Kemenneg Perumahan Rakyat. Departemen Pekerjaan Umum mengelola dana kemiskinan sebesar senilai Rp385 miliar.
Dana ini digunakan membangun rumah dan sarana prasarananya di pemukiman kumuh, desa tradisional, nelayan, eks transmigrasi (150 kawasan), dan kawasan terpencil (25 kawasan), perbaikan sarana dan prasarana air minum pada 150 desa miskin, desa rawan air, desa pesisir dan terpencil.


3. SLT Bersyarat
Dana subsidi tunai langsung bersyarat direncanakan sebesar Rp4 triliun, disalurkan Dinas Pendidikan Nasional sebanyak Rpl,8 triliun, dan KL yang dikoordinasikan Bappenas Rp2,2 triliun. Program perlindungan sosial dilaksanakan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional senilai Rp285,9 triliun untuk program KB dan membuka akses informasi kesehatati masyarakat.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan mengelola program penanggulangan kemiskinan senilai Rp4 miliar untuk mengatasi masalah gender dan anak. Departemen Sosial melaksanakan program pemberdayaan masyarakat miskin, dan memberikan bantuan jaminan sosial bagi masyarakat korban atau masyarakat rentan terkena bencana senilaj Rp550 miliar. -.
Penanganan masalah gizi kurang dan rawan pangan dilaksanakan Departemen Kesehatan dengan kebutuhan dana sebesar RpSOO miliar. Bentuk kegiatan member! gizi dan vitamin kepada masyarakat.
Bagi Badan Pertanahan Nasional dianggarkan Rp218,l miliar untuk melayani masyarakat mendapatkan kepastian hukum atas hak tanah. Kemenkop dan UKM sebesar Rpl55 miliar untuk menyediakan sarana dan prasarana, pelatihan bagi pelaku usaha mikro.
Departemen Dalam Negeri meningkatkan kelembagaan dan keberadaan masyarakat pedesaan dengan anggaran Rp860,3 miliar. Pada 2007 pemerintah juga berencana meningkatkan kapasitas masyarakat miskin perkotaan melalui Departemen Pekerjaan. Umum dengan perkiraan anggaran Rp221 miliar.


B. SDM Bangsa Dan Gizi Buruk
Salah satu masalah sosial yang dihadapi Indonesia adalah rendahnya status gizi masyarakat. Hal ini mudah dilihat, misalnya dari berbagai masalah gizi, seperti kurang gizi, anemia gizi besi, gangguan akibat kekurangan yodium, dan kurang vitamin A. Rendahnya status gizi jelas berdampak pada kualitas sumber daya manusia. Oleh karena, status gizi memengaruhi kecerdasan, daya tahan tubuh terhadap penyakit, kematian bayi, kematian ibu, dan produktivitas kerja.
Program gizi yang kini telah diimplementasikan oleh pemerintah mempunyai beberapa sasaran. Pertama, menurunkan prevalensi gizi kurang pada anak balita menjadi 20 person. Kedua, menurunkan prevalensi gangguan akibat kurang yodium (GAKY) pada anak menjadi kurang dari 5 persen. Ketiga, menurunkan anemia gizi besi pada ibu hamil menjadi 40 persen. Keempat, tidak ditemukannya kekurangan vitamin A (KVA) klinis pada anak balita dan ibu hamil. Kelima, meningkatkan jumlah rumah tangga yang mengonsumsi garam beryodium menjadi 90 persen. Keenam, tercapainya konsumsi gizi seimbang dengan rata-rata konsumsi energi sebesar 2.200 kkal per kapita per hari dan protein 50 gram per kapita per hari.

Dari diskusi terbatas pada Oktober 2005 di Bappenas, terungkap bahwa pada tahun 2003 prevalensi gizi kurang dan buruk adalah 27,5 persen, mengindikasikan belum tercapainya sasaran (20 persen).
Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) ini; jauh berbeda dengan data Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 2001-2004. Dengan menggunakan acuan BB/U (berat badan menurut umur), SKRT 2001 menemukan prevalensi gizi kurang sebesar 22,5 persen dan gizi buruk 8,5 persen. Adapun data Susenas menunjukkan prevalensi gizi kurang 19,8 persen dan gizi buruk 6,3 persen. Karena itu, diperlukan harmonisasi data dengan memerhatikan keunggulan dan kelemahan pelaksanaan masing-masing survei.

Hasil survei nasional tahun 1980, 1990, 1996/1998, dan 2003 menunjukkan penurunan prevalensi GAKY yang cukup berarti. Pada tahun 1980, prevalensi GAKY pada anak usia sekolah adalah 30 persen, lalu turun menjadi 27,9 (1990), selanjutnya menjadi 9,8 persen (1996/1998). Survei tahun 2003 menunjukkan, prevalensi ini sedikit meningkat menjadi 11,1 persen.
Usaha-usaha menurunkan prevalensi GAKY mungkin dapat dikatakan sudah on the right track. Pencapaian target GAKY biasanya terkait cakupan konsumsi garam beryodium di rumah tangga. Rumah tangga yang mengonsumsi garam beryodium secara cukup, hingga tahun 2003 adalah 73.2 persen. Jika dibandingkan dengan target tahun 2004 sebesar 90 persen, maka pencapaian sasaran adalah 81,3 persen.
Prevalensi anemia gizi besi (AGB) pada ibu hamil turun dari 50,9 persen (1995) menjadi 40,1 persen (2001). Dengan sasaran yang ingin dicapai 40 persen, maka pencapaian target adalah sebesar 99,75 persen. Intervensi yang dilakukan saat ini masih berkisar pada suplementasi atau pemberian tablet besi. Strategi lain masih belum dioptimalkan seperti fortifikasi besi pada makanan serta penyuluhan.

Banyak wanita hamil yang menderita anemia karena kebutuhan zat gizi umumnya meningkat, tetapi konsumsi makanannya tidak memenuhi syarat gizi. Selain konsumsi makanan yang tidak cukup, kondisi anemia juga diperburuk oleh kehamilan berulang dalam waktu singkat. Cadangan gizi yang belum pulih akhirnya terkuras untuk keperluan janin yang dikandung berikutnya. Itulah sebabnya, pengaturan jarak kehamilan menjadi penting untuk diperhatikan sehingga ibu siap hamil kembali tanpa harus menguras cadangan gizi.
Meski dinyatakan bebas xerophthalmia (kurang vitamin A) pada tahun 1992, di Indonesia masih dijumpai 50 persen dari anak balita mempunyai serum retinol kurang dari 20 meg/100 ml. Tingginya proporsi anak balita dengan serum retinol kurang dari 20 meg/100 ml disertai pola makanan anak balita yang belum seimbang menyebabkan anak balita di Indonesia berisiko dan menjadi amat tergantung kapsul vitamin A dosis tinggi, terutama pada daerah-daerah dengan tingkat kemiskinan tinggi.

Masalah kekurangan vitamin A adalah bentuk kelaparan tak kentara yang sering lepas dari perhatian para pengambil kebijakan. WHO memperkirakan, pada tahun 1995 lebih kurang 250 juta anak balita di seluruh dunia menderita kurang vitamin A, 3 juta di antaranya dengan gejala kerusakan mata yang menuju kebutaan. Kira-kira 10 person kasus orang buta di negara berkembang disebabkan kekurangan vitamin A.
Mereka yang buta karena kurang vitamin A sekitar 70 persennya meninggal dalam waktu satu tahun. Hasil penelitian Tarwotjo, Muhilal, dan Sommer di Sumatera tahun 1980-an yang dipublikasikan di berbagai jurnal internasional mengungkap kaitan kekurangan vitamin A dengan mortalitas dan morbiditas.
Angka kematian bayi terkait erat status gizi anak. Anak-anak penderita gizi kurang umumnya memiliki kekebalan tubuh yang rendah dan hal ini menjadikan dirinya rawan terhadap infeksi yang dapat menyebabkan kematian. Penyakit infeksi yang senantiasa mengintai bayi adalah diare dan infeksi saluran pernapasan.

Dalam hal angka kematian bayi, Indonesia (31/1.000 kelahiran) hanya lebih baik dibandingkan dengan Kamboja (97/1.000) dan Laos (82/1.000). Jika dibandingkan dengan negara-negara lain, kita masih tertinggal. Singapura dan Malaysia memiliki angka kematian bayi amat rendah, masing-masing 3 dan 7 per 1.000 kelahiran. Ini menunjukkan besarnya perhatian negara itu terhadap masalah gizi dan kesehatan yang dihadapi anak-anak.
Berdasar Susenas 2002, konsumsi kalori rata-rata penduduk 1.985 kkal dan 54,4 gram protein. Angka ini mendekati sasaran yang ditetapkan pemerintah. Namun, ketidakseimbangan di wilayah masih terjadi karena banyak penduduk mengonsumsi kurang dari 70 persen dari kecukupan gizi yang dianjurkan. Ini mengindikasikan, isu ketahanan pangan masih perlu diwaspadai.
Pada tahun 1997, WHO Expert Consultation on Obesity memperingatkan tentang meningkatnya masalah kegemukan dan obesitas di berbagai belahan dunia. Jika tidak ada tindakan untuk mengatasi masalah pandemik ini, jutaan manusia di negara maju maupun berkembang akan menghadapi risiko noncommunicable diseases (NCDs) seperti penyakit jantung koroner, hipertensi, dan stroke.

Disadari, banyak negara tidak memiliki data akurat mengenai masalah kegemukan dan obesitas di kalangan penduduknya. Hal ini disebabkan kurangnya prioritas untuk memahami masalah kesehatan yang amat serius ini. Apalagi negara-negara berkembang lebih memfokuskan diri pada dimensi masalah gizi kurang.
Berbagai indikator gizi itu menunjukkan, masih ada PR bagi pemerintah untuk memperbaiki kualitas SDM kita. Persoalan kualitas SDM masih ditambah masalah-masalah moral, kejujuran, kedisiplinan yang menjadikan bangsa Indonesia sulit bersaing dengan bangsa-bangsa lain.


1. Analisa Situasi Kesehatan Dan Gizi
Wanita, terutama wanita usia subur/WUS, bayi dan anak balita adalah kelompok rawan pada penduduk yang selalu harus menjadi perhatian. Indonesia tidak mempunyai ‘vital statistic’ yang dapat dilakukan untuk menghitung angka kematian ibu. Biasanya dilakukan estimasi berdasarkan survei yang ada seperti Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) dan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT). Dari analisis SDKI 1991, 1994 diperkirakan Angka Kematian Ibu (AKI) adalah 390 per 100,000 kelahiran hidup untuk periode 1989-1994, dan 334 pada periode tahun 1992-1997. Sebelum tahun 1997, Pemerintah Indonesia mentargetkan penurunan AKI ini dari 450 (1995) menjadi 225 (1999). Melihat variasi AKI di lima provinsi dari analisis SKRT 1995 yang menunjukkan AKI antara 1025 (Irian), 796 (Maluku), 686 (Jawa Barat), 554 (NTT) dan 248 (Jawa Tengah), diasumsikan AKI masih sangat bermasalah memasuki milenium ketiga ini (Sumantri, et.al, 1999).

Untuk kelompok bayi dan anak yang dipantau perkembangannya, ada peningkatan yang cukup baik, akan tetapi angkanya masih cukup tinggi dibandingkan dengan negara tetangga, seperti Malaysia, Filipina dan Thailand. Walaupun terjadi penurunan angka kematian bayi dan balita, masih diperkirakan dari 4 juta anak yang lahir di Indonesia, 300.000 diantaranya meninggal sebelum mencapai usia 5 tahun (Sumantri, 2000). – Lihat figure 3. Angka kematian bayi dan anak ini bervariasi cukup lebar antar provinsi. Dijumpai 23 kematian bayi per 1000 lahir hidup di Jogjakarta dan 111 kematian bayi per 1000 lahir hidup di NTB, hal yang sama terjadi juga untuk kematian balita (Sumantri, 2000).
Masalah gizi kurang, terutama pada anak balita dikaji kecenderungannya menurut Susenas. Pada tahun 1989, prevalensi gizi kurang pada balita adalah 37.5% menurun menjadi 24,7% tahun 2000. Walaupun terjadi penurunan prevalensi gizi kurang, yang menjadi pusat perhatian adalah penderita gizi buruk pada anak balita, yang terlihat tidak ada penurunan semenjak tahun 1989. Pada tahun 1989, prevalensi gizi buruk anak balita adalah 6.3%. Prevalensi ini meningkat menjadi 11,56% pada tahun 1995 dan menurun menjadi 7,53% pada tahun 2000 (Direktorat Gizi, 2001). Berdasarkan hasil sementara SP 2000, maka diperkirakan jumlah penderita gizi buruk pada balita adalah 1.520.000 anak, atau 4.940.000 anak menderita gizi kurang.

Masih tingginya prevalensi gizi kurang pada anak balita berhubungan dengan masih tingginya bayi lahir dengan berat badan rendah (BBLR). Prevalensi BBLR ini masih berkisar antara 7 sampai 14% pada periode 1990-2000. (Lihat figure 5). Akibat dari BBLR dan gizi kurang pada balita berkelanjutan pada masalah pertumbuhan anak usia masuk sekolah. Berdasarkan hasil pemantauan tinggi badan anak baru masuk sekolah (TBABS), diketahui bahwa prevalensi anak pendek tahun 1994 adalah 39,8%. Prevalensi ini turun menjadi 36,1% pada tahun 1999. Anak yang terpantau dari TBABS adalah anak usia 5-9 tahun. Jika jumlah anak 5-9 tahun menurut SP 2000 diperkirakan 21.777.000, maka 7.800.000 anak usia baru masuk sekolah mengalami hambatan dalam pertumbuhan. Masalah gizi kurang pada anak berkelanjutan pada wanita usia subur, yang akan melahirkan anak dengan risiko BBLR disertai dengan masalah anemia dan gizi mikro lainnya. Dari kajian Susenas, proporsi wanita usia 15-49 tahun dengan Lingkar Lengan Atas (LILA <23.5 cm) adalah 24,9% tahun 1999 dan 21,5% pada tahun 2000 (Lihat Figure 6 dan 7). Proporsi ini sama dengan 13.316.561 wanita usia subur diperkirakan mempunyai risiko kurang energi kronis. Terlihat juga bahwa wanita usia subur, khususnya pada kelompok yang paling produktif: usia 15-19, 20-24 dan 25-29 tahun, mempunyai proprosi LILA <23.5% yang tertinggi.

Masalah gizi lainnya yang cukup penting adalah masalah gizi mikro, terutama untuk kurang yodium dan zat besi. Pada tahun 1980, prevalensi gangguan akibat kurang yodium (GARY) pada anak usia sekolah adalah 30%, prevalensi ini menurun menjadi 9,8% pada tahun 1998. Walaupun terjadi penurunan yang cukup berarti, masih dianggap masalah kesehatan masyarakat, karena prevalensi di atas 5%. Prevalensi tersebut bervariasi antar kecamatan, masih dijumpai kecamatan dengan prevalensi GAKY di atas 30% (daerah endemik berat). Berdasarkan prevalensi tersebut, diperkirakan 10 juta penduduk menderita GAKY, dan kemungkinan 9000 bayi lahir dengan kretin. Masalah berikutnya adalah anemia gizi akibat kurang zat besi. Kajian Survei Kesehatan Rumah Tangga (1995) menunjukkan bahwa prevalensi anemi pada ibu hamil adalah 50,9%, pada wanita usia subur 39,5%, pada remaja putri 57,1%, dan pada balita 40,5%.

Faktor penyebab dari tingginya kematian ibu, bayi dan anak ini tidak lain disebabkan karena belum memadainya pelayanan kesehatan masyarakat dan keadaan gizi, diluar faktor pencetus lainnya yang memperkuat masalah ini seperti kemiskinan dan tingkat pendidikan. Akibat yang terlihat dari kemiskinan adalah masih dijumpai hampir 50% rumah tangga mengkonsumsi makanan kurang dari 70% terhadap angka kecukupan gizi yang dianjurkan (2200 Kkal/kapita/hari; 48 gram protein/kapita/hari). Kita ketahui Human Development Index pada tahun 2000 yang dilaporkan oleh UNDP adalah 109 untuk Indonesia, tertinggal jauh dari Malaysia, Filipina dan Thailand. Masih tingginya masalah gizi, akan berpengaruh nyata terhadap tingkat pendidikan dan pendapatan per kapita. Rendahnya kondisi gizi akan berakibat pada rawannya penyakit infeksi dan semakin tinggi pengeluaran terhadap kesehatan. Krisis ekonomi yang berkepanjangan akan berdampak lebih nyata pada masalah kesehatan dan gizi penduduk.

2. Issue Strategis, Strategi Dan Kebijakan
Memasuki milenium ketiga, pelayanan kesehatan masih difokuskan pada pelayanan pada orang sakit dan kurang gizi. Rendahnya alokasi yang diberikan untuk pelayanan kesehatan masyarakat memperburuk situasi yang ada. Indonesia masih dihadapi pada rendahnya rasio dokter dan tenaga
kesehatan lainnya untuk memberikan pelayanan kesehatan, ditambah fasilitas kesehatan (rumah sakit dan puskesmas) yang juga masih jauh dari optimal.
Semenjak terjadi krisis ekonomi 1997, banyak upaya yang dilakukan untuk mempertahankan situasi kesehatan dan gizi masyarakat, terutama pada kelompok rawan. Jaring Pengaman Sosial Bidang Kesehatan (JPS-BK) yang mulai dioperasionalkan tahun 1998 melakukan upaya pelayanan kesehatan dasar, kesehatan ibu/safemotherhood dan gizi, terutama untuk penduduk miskin. Upaya yang telah dilakukan antara lain:

  1. Mentargetkan dan memberikan pelayanan kesehatan khusus pada keluarga miskin yang membutuhkan. Pemilihan keluarga miskin ini dilakukan menurut indikator yang telah disepakati bersama.
  2. Memberikan pelayanan khusus seperti pemberian makanan tambahan pada balita dan ibu hamil kurang gizi.
  3. Memberikan pelayanan kebidanan pada ibu hamil dengan memberdayakan bidan di desa
  4. Melakukan  revitalisasi   Posyandu  agar  pemantauan  pertumbuhan  pada  bayi  dan  balita  tetap dilaksanakan.
  5. Melakukan advokasi pada pemerintah daerah setempat untuk selalu mentargetkan dengan alokasi yang memadai untuk lokasi yang berisiko tinggi masalah gizi dan kesehatan.
  6. Melakukan promosi untuk peningkatan pendidikan dan peningkatan pelayanan kesehatan dasar.
  7. Mengembangkan program jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat.
  8. Mengembangkan dan memperkuat sistem monitoring dan evaluasi (surveilans) untuk kepentingan daerah, terutama untuk memperbaiki kebijakan daerah terhadap pelayanan kesehatan dan gizi.

Mempelajari permasalahan yang ada dan upaya yang telah dilakukan, Indonesia mencanangkan Indonesia Sehat 2010, dengan menetapkan issue strategis yang menjadi titik tolak kebijakan intervensi atau program yang diperlukan pada saat ini dan masa yang akan datang. Issue strategisnya adalah sebagai berikut1:
1. Kerjasama lintas sektor
Perubahan perilaku masyarakat untuk hidup sehat dan peningkatan mutu lingkungan sangat berpengaruh terhadap peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Selain itu, masalah kesehatan dan gizi merupakan masalah nasional yang tidak dapat terlepas dari berbagai kebijakan dari sektor lain. Peningkatan upaya dana manajemen pelayanan kesehatan tidak dapat terlepas dari peran sektor yang membidangi pembiayaan, pemerintahan dan pembangunan daerah, ketenagaan, pendidikan, perdagangan dan social budaya. Dengan demikian kerja sama lintas sektor yang masih belum berhasil pada masa lalu perlu lebih ditingkatkan.

2. Sumber daya manusia kesehatan
Mutu sumber daya manusia kesehatan sangat menentukan keberhasilan upaya dan manajemen kesehatan. Sumber daya manusia kesehatan yang bermutu harus selalu mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan berusaha untuk mengusai IPTEK yang mutakhir. Disadari bahwa jumlah sumber daya manusia kesehatan yang mengikuti perkembangan IPTEK dan menerapkan nilai-nilai moral dan etika profesi masih terbatas. Adanya kompetisi dala era pasar bebas sebagai akibat dari globalisasi harus diantisipasi dengan peningkatan mutu dan profesionalisme sumber daya manusia kesehatan. Hal ini diperlukan tidak saja untuk meningkatkan daya saing sektor kesehatan, tetapi juga untuk membantu peningkatan daya saing sektor lain, antara lain pengamanan komoditi bahan makanan dan makanan jadi.

3. Mutu dan keterjangkauan pelayanan kesehatan
Dipandang dari segi fisik persebaran sarana pelayanan kesehatan baik Puskesmas, Rumah sakit, maupun sarana kesehatan lainnya termasuk sarana penunjang upaya kesehatan telah dapat dikatakan merata keseluruh wilayah Indonesia. Akan tetapi persebaran fisik tersebut masih belum diikuti sepenuhnya dengan peningkatan mutu pelayanan dan keterjangkauan oleh seluruh lapisan masyarakat. Mutu pelayanan kesehatan sangat dipengaruhi oleh kualitas sarana fisik, jenis tenaga yang tersedia, obat, alat kesehatan dan sarana penunjang lainnya, proses pemberian pelayanan, dan kompensasi yang diterima serta harapan masyarakat pengguna. Faktor-faktor tersebut di atas merupakan prakondisi yang harus dipenuhi untuk peningkatan mutu dan keterjangkauan pelayanan kesehatan. Peningkatan pelayanan dilakukan melalui peningkatan mutu dan profesionalisme sumber daya kesehatan. Sedangkan harapan masyarakat pengguna dilakukan melalui peningkatan pendidikan umum, penyuluhan kesehatan, serta komunikasi yang baik antara pemberi pelayanan kesehatan dan masyarakat.

4. Prioritas, sumber daya pembiayaan, dan pemberdayaan masyarakat
Selama ini upaya kesehatan masih kurang mengutamakan atau memprioritaskan masalah kesehatan yang dihadapi masyarakat. Selain itu permasalahan kesehatan yang diderita oleh masyarakat banyak masih belum diikuti dengan pembiayaan kesehatan yang memadai. Disadari bahwa keterbatasan dana pemerintah dan masyarakat merupakan ancaman yang besar bagi kelangsungan program pemerintah serta ancaman pencapaian derajat kesehatan yang optimal. Diperlukan upaya yang intensif untuk meningkatkan sumber daya pembiayaan dari sektor publik yang diutamakan untuk kegiatan pemeliharaan dan peningkatan kesehatan serta pencegahan penyakit. Ketersediaan sumber daya yang terbatas, mengharuskan adanya upaya untuk meningkatkan peran serta sektor swasta khususnya dalam upaya yang bersifat penyembuhan dan pemulihan. Upaya tersebut dilakukan melalui pemberdayaan sektor swasta agar mandiri, peningkatan kemitraan yang setara dan saling menguntungkan antara sektor publik dan swasta sehingga sumber daya yang ada dapat dimanfaatkan secara optimal.
Sementara itu, issue strategis bidang gizi, karena berhubungan dengan pangan, keluarga dan anak, maka hal yang berkaitan dengan:

  1. Ketahanan pangan tingkat rumah tangga
  2. Pengembangan agribisnis
  3. Pertumbuhan   ekonomi   dan   pengentasan   kemiskinan   yang   berkaitan   erat   dengan   upaya peningkatan daya beli dan akses terhadap pangan.
  4. Pola pengasuhan yang tepat dan bermutu untuk anak

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka strategi pembangunan kesehatan untuk mewujudkan Indonesia Sehat 2010 adalah:

  1. Pembangunan Nasional Berwawasan Kesehatan
  2. Profesionalisme
  3. Jaminan pemeliharaan kesehatan masyarakat
  4. Desentralisasi

Strategi program gizi mengikuti strategi pembangunan kesehatan dan juga memfokuskan pada:

  1. Pemberdayaan keluarga dan masyarakat
  2. Pemantapan kelembagaan pangan dan gizi
  3. Pemantapan Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi
  4. Advokasi dan mobilisasi social
  5. Peningkatan mutu dan cakupan pelayanan gizi melalui penerapan paradigma sehat

Berdasarkan strategi tersebut, maka tujuan pembangunan kesehatan adalah meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan mayarakat yang optimal. Dan kebijaksanan pembangunan kesehatan untuk mewujudkan tujuan tesebut adalah:

  1. Pemantapan kerja sama lintas sektoral
  2. Peningkatan kemandirian masyarakat dan kemitraan swasta
  3. Peningkatan perilaku hidup sehat
  4. Peningkatan lingkungan sehat
  5. Peningkatan upaya kesehatan
  6. Peningkatan sumber daya kesehatan
  7. Peningkatan kebijakan dan manajemen pembangunan kesehatan
  8. Peningkatan IPTEK
  9. Peningkatan derajat kesehatan

Sejalan dengan kebijakan pembangunan kesehatan, telah dibuat pula rencana program aksi pangan dan gizi yang juga merupakan penjabaran Propenas, yaitu:

  1. Pengembangan kelembagaan pangan dan gizi
  2. Pengembangan tenaga pangan dan gizi
  3. Peningkatan ketahanan pangan
  4. Kewaspadaan pangan dan gizi
  5. Pencegahan dan penanggulangan gizi kurang dan gizi lebih
  6. Pencegahan dan penanggulangan kurang zat gizi mikro
  7. Peningkatan perilaku sadar pangan dan gizi
  8. Pelayanan gizi di Institusi
  9. Pengembangan mutu dan keamanan pangan
  10. Penelitian dan pengembangan

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Indonesia Sehat 2010 merupakan goal yang akan dicapai. Hal ini tidak mungkin dicapai jika peningkatan kualitas dan akses masyarakat terhadap kesehatan dan gizi tidak menjadi perhatian utama. Alokasi kesehatan yang masih sekitar 3% tentunya tidak berarti untuk mencapai tujuan ini. Goal ini juga mengarahkan kita semua untuk mendukung upaya berkaitan dengan peningkatan sumber daya manusia melalui pendidikan dan kualitas hidup. Diperlukan penjabaran Propenas dan Propeda kedalam bentuk program aksi yang lebih konkrit. Fokus perhatian diutamakan pada keluarga miskin di wilayah kumuh perkotaan dan pedesaan. Selain itu peningkatan kesehatan dan gizi masyarakat tidak akan terlepas juga dari kontribusi “komprehensif dan pelayanan profesional” yang melibatkan partisipasi aktif masyarakat secara keseluruhan.
Rekomendasi yang diperlukan tentunya berkaitan dengan:

  1. paradigma sehat yang berlandaskan pada visi dan misi pembangunan kesehatan nasional;
  2. revitalisasi pada infrastruktur yang berkaitan dengan upaya desentralisasi;
  3. alokasi kesehatan dan gizi yang optimal;
  4. memperkuat aspek teknologi bidang kesehatan dan gizi;
  5. memperkuat aspek pelayanan kesehatan dan gizi secara profesional;
  6. mengembangkan JPKM;
  7. memperkuat sistem pemantauan dan evaluasi program.

Pada akhirnya kajian terus menerus berkaitan dengan kependudukan sangat diperlukan, terutama pada kelompok sasaran yang menjadi prioritas dalam pembangunan kesehatan dan gizi. Peningkatan derajat kesehatan dan gizi penduduk merupakan investasi yang besar bagi negara.

Recommended For You

3 Comments

  1. makasih bos atas informasinya….
    emang selayaknya kita sebagai manusia harus memperhatikan gizi kita, apalagi di bulan puasa seperti ini,,,, semua itu bisa terjadi kalau kita dalam keadaan berada alias mampu, jikalau tidak mampu atau punya….! pastinya sudah bisa makan aja sudah bagus,,,, apalagi mikir gizi…. tidak mungkin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *